HAK MILIK
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap manusia hidup
bermasyarakat, saling tolong-menolong dalam menghadapi berbabagai macam
persoalan untuk menutupi kebutuhan antara satu dengan yang lain. Ketergantungan
seseorang kepada yang lain dirasakan ada ketika manusia itu lahir. Setelah
dewasa, manusia tidak ada yang serba bisa. Seseorang hanya ahli dalam bidang
tertentu saja, seperti seorang petani mampu (dapat) menanam ketela pohon dan
padi dengan baik tetapi dia tidak mampu membuat cangkul. Jadi, petani mempunyai
ketergantungan kepada seorang ahli pandai besi yang pandai membuat cangkul,
juga sebaliknya orang yang ahli dalam pandai besi tidak sempat menanam padi,
padahal makanan pokoknya adalah beras. Jadi seorang yang ahli dalam pandai besi
memiliki ketergantungan pada petani[1].
Setiap manusia mempunyai kebutuhan sehingga sering terjadi
pertentangan-pertentangan kehendak. Untuk menjaga keperluan masig-masing, perlu
ada aturan-aturan yang mengatur kebutuhan manusia agar manusia itu tidak
melanggar dan memaksa hak-hak orang lain. Maka timbullah hak dan kewajiban
diantara sesama manusia[2].
B.
RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas, maka kami mengambil rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa pengertian Hak Milik ?
2. Bagaimana pembagian Hak ?
3. Apa sebab-sebab Pemilikan ?
2. Bagaimana pembagian Hak ?
3. Apa sebab-sebab Pemilikan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hak Milik
Menurut pengertian umum, hak ialah :
اِجْتِصَاصٌ يُقَرِّرُبِهِ الشَّرْعُ
سُلْطَةَ أوْتَكْلِيْفَا
Artinya: “Suatu ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk menetapkan
suatu kekuasan atau suatu beban hukum.”
Pengertian
hak sama dengan arti hukum dalam istilah ahli ‘Ushul :
مَجْمُوْعَةُ الْقَوَاعِدِ وَالنُّصُوْصِ الشَّرْعِيَّةِ
الَّتِى تَنْتَظِمُ عَلَى سَبِيْلِ الإِلْزَامِ عَلاَئِقَ النَّاسِ مِنْ حَيْثُ
اْلأَشْخَاصِ وَاْلأَمْوَالِ
Artinya:
“Sekumpulan kaidah dan nash yang mengatur atas dasar harus ditaati untuk
mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik mengenai orang maupun mengenai harta
Ada
juga hak didefinisikan sebagai berikut:
السُّلْطَةُ عَلَى الشَّيْئٍ أَوْمَا يَجِبُ عَلَى شَخْصٍ
لِغَيْرِهِ
Artinya: “Kekuasaan mengenai sesuatu atau sesuatu yang wajib dari
seseorang kepada yanglainnya.”
Milik didefinisikan sebagai berikut:
Milik didefinisikan sebagai berikut:
اِخْتِصَاصٌ يُمْكِنُ صَاحِبُهُ شَرْعًا اَنْ
يَسْتَبِدَّ بِالتَّصَرُّفِ وَاْلاِنْتِفَاعِ عِنْدَ عَدَمِ الْمَانِعِ
الْشَرْعِيِّ
Artinya: “Kekhususan terdapat pemilik suatu barang menurut syara’ untuk bertindak secara bebas bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang syar’i.[3]”
Artinya: “Kekhususan terdapat pemilik suatu barang menurut syara’ untuk bertindak secara bebas bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang syar’i.[3]”
Apabila seseorang telah memiliki suatu benda
yang sah menurut syara’, orang tersebut bebas bertindak terhadap benda
tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik dia sendiri maupun
dengan perantara orang lain[4].
Islam juga memberikan batas-batas tentang hak
milik agar manusia mendapat kemaslahatan dalam pengembangan harta tadi dalam
menafkahkan dan dalam perputarannya, yaitu melalui prinsip-prinsip diantaranya:
1. Hakikatnya harta itu adalah milik Allah SWT.
Firman
Allah dalam surat al hadid ayat 7 :
آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا
مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
Artinya
: Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari
hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang
beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh
pahala yang besar[5].
2. Harta kekayaan jangan sampai hanya ada/dimiliki
oleh segolongan kecil masyarakat.
Firman
Allah dalam surat al hasyr ayat 7 :
مَا
أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ
وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لا
يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ
فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya
: apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari
harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah,
untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang
yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang
Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah.
dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya[6].
3. Ada barang-barang yang karena dlaruri-nya adalah
untuk kepentingan masyarakat seluruhnya[7].
Mazhab Maliki dan Hanafi mengemukakan teori ta’asuf yang didalam
penerapannya terhadap hak milik sebagai berikut:
1. Tidak boleh
menggunakan hak kecuali untuk mencapai maksud yang dituju dengan mengadakan hak
tersebut.
2. Menggunakan hak dianggap tidak menurut agama jika mengakibatkan
timbulnya bahaya yang tidak lazim.
3. Tidak boleh menggunakan hak kecuali untuk mendapat manfaat bukan untuk
merugikan orang lain.
Hak yang dijelaskan dimuka, ada kalanya merupakan sulthah dan taklif.
1. Sulthah terbagi dua, yaitu:
a. Sulthah ‘ala
al nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa, seperti hak hadlanah (pemeliharaan
anak).
b. Sulthah ‘ala
syai’in mu’ayanin ialah hak manusia untuk memiliki sesuatu, seperti seseorang
berhak memiliki sebuah mobil.
2. Taklif adalah orang yang bertanggung jawab, taklif
adakalanya tanggungan pribadi (‘ahdah syakhshiyah) seperti seseorang buruh
menjalankan tugasnya, adakalanya tanggungan harta (‘ahdah maliyah) seperti
membayar utang.
B.
Pembagian Hak
Dalam pengertian umum hak dibagi menjadi 2
bagian yaitu :
1. Hak mal ialah:
مَايَتَعَلَّقُ بِالْمَالِ
كَمِلْكِيَّةِ اْلأَعْيَانِ وَالدُّيُوْنِ
Artinya: “Sesuatu yang berpautan dengan harta, seperti pemilikan
benda-benda atau utang-utang.”
2. Hak ghairu mal ialah sesuatu yang berpautan selain
harta. Hak ghairu mal ada dua bagian: hak syakhshi dan hak ‘aini.
a.
Hak syakhshi ialah :
مَطْلَبٌ يُقِرُّهُ
الشَّرْعُ لِشَخْصٍ عَلَى أَخَر
Artinya: “Suatu
tuntutan yang ditetapkan syara’ dari seseorang terhadap orang lain.”
b.
Hak ‘aini
ialah hak orang dewasa dengan bendanya tanpa dibutuhkan orang kedua. Hak ‘aini ada 2 macam:
ashli dan thab’i.
1. Hak ‘aini ashli ialah adanya wujud benda tertentu
dan adanya shahub al-haq seperti hak milkiyah dan hak irtifaq. Macam-macam haq
‘aini ashli sebagai berikut:
a.
Haq
al-milkiyah; hak yang memberikan pemiliknya hak wilayah
b.
Haq
al-intifa’ ialah hak hanya boleh dipergunakan dan diusahakan hasilnya.
c.
Haq
al-irtifaq ialah hak memiliki manfaat yang ditetapkan untuk suatu kebun atas
kebun yang lain, yang dimiliki bukan oleh pemilik kebun pertama.
d.
Haq al
istihan, hak yang diperoleh dari harta yang digadaikan
e.
Haq
al-ihtibas ialah hak menahan suatu benda.
f.
Haq qarar
(menetap) atas tanah wakaf.
g.
Haq al-jiwar
hak-hak yang timbul disebabkan oleh berdempetnya batas-batas tempat tinggal.
h.
Haq syafah
atau haq syurb ialah kebutuhan manusia terhadap air untuk kebutuhan
sehari-hari. Ditinjau dari haq syurb, air dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
v Air minum yang tidak dimiliki oleh seseorang atau
air umum, misalnya air sungai.
v Air ditempat yang ada pemiliknya, misalnya air
sumur.
v Air yang terpelihara, yaitu air yang dikuasai
pemiliknya, dipelihara dan disimpan disuatu tempat yang telah disediakan,
misalnya air di kendi dan bejana-bejana.
2. Hak ‘aini thab’i ialah hak menentukan jaminan yang
ditetapkan untuk seseorang yang mengutangkan uangnya atas yang berhutang.
C.
Sebab – Sebab Pemilikan
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan harta
dapat dimiliki, yaitu :
3. Ikraj al Mubahat, untuk harta yang belum dimiliki
oleh seseorang (mubah)
Untuk memiliki benda-benda mubahat diperlukan dua syarat, yaitu:
Untuk memiliki benda-benda mubahat diperlukan dua syarat, yaitu:
a.
Benda mubahat
belum diikhrazkan (dikelola) oleh orang lain.
b.
Adanya niat
(maksud) memiliki.
4. Khalafiyah, yaitu bertempatnya seseorang atau
sesuatu yang baru bertempat di tempat yang lama, yang telah hilang berbagai
macam haknya. Khalafiyah ada dua macam, yaitu:
a.
Khalafiyah
syakhsy ‘an syakhsy, yaitu si waris menempati tempat si muwaris dalam memiliki
harta benda yang ditinggalkan oleh muwaris, harta yang ditinggalkan oleh
muwaris disebut tirkah.
b.
Khalafiyah
syai’an syai’in, yaitu apabila seseorang merugikan milik orang lain atau
menyerobot barang orang lain, kemudian rusak ditangannya atau hilang, maka
wajiblah dibayar harganya dan diganti kerugian-kerugian pemilik harta. Maka
khalafiyah syai’an syai’in ini disebut tadlmin atau ta’widl (menjamin
kerugian).
5. Tawallud min Mamluk, yaitu segala yang terjadi
dari benda yang telah dimiliki, menjadi hak bagi yang memiliki benda tersebut.
Misalnya bulu domba menjadi milik pemilik domba.
6. Karena penguasaan terhadap milik negara atas
pribadi yang sudah lebih dari tiga tahun. Umar r.a. ketika menjabat khalifah ia
berkata,”Sebidang tanah akan menjadi milik seseorang yang memanfaatkannya dari
seseorang yang tidak memanfaatkannya selama tiga tahun.” Hanafiyah berpendapat
bahwa tanah yang belum ada pemiliknya kemudian dimanfaatkan oleh seseorang,
maka orang itu berhak memiliki tanah itu[8].
Hak milik yang sempurna dapat beralih dari
seorang pemilik kepada orang lain sebagai pemilik yang baru yaitu salah satunya
dengan cara :
1. Jual beli atau tukar menukar
2. Hibah
3. Perkawinan yang sah
4. Wakaf
5. Kekerabatan (hubungan kekeluargaan)
6. Ashobah ‘Uhsubah Sabababiyah Yaitu ahli waris yang
terikat oleh ‘ushubah sababiyah yaitu kekerabatan itu ditentukan berdasarkan
hukum. Ashobah sababiyah menurut hukum itu terjadi lantaran :
a.
Adanya
perjanjian untuk saling tolong-menolong.
b. Wala’ul
ataqoh atau wala’ul ‘itqi Yaitu ‘ushubah yang disebabkan karena memerdekakan budak
(membebaskannya), sehingga ia memperoleh kedudukan yang bebas dan mempunyai hak
serta kewajiban sebagai manusia bebas lainnya. Dan apabila yang dimerdekakan
itu meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris, maka bekas tuannya yang
membebaskannya (mu’tiq) itulah yang berhak menerima harta warisannya. Tetapi
apabila si tuan meninggal dunia, bekas budak yang dibebaskan tidaklah mewaris
dari harta benda bekas tuannya itu.
Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW, yaitu sebagai berikut :
إِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ
أَعْتَقَ. (متفوعليه(
Artinya : Hak wala’ itu orang yang memerdekakan. (Muttafaq’alaih)
Proses pemindahan hak milik bisa dikelompokkan dalam dua macam:
1. Pengalihan hak milik dengan maksud atau ikhtiar dari pemiliknya
2. Pengalihan hak milik tanpa kehendak dan ikhtiar
pemiliknya tapi mengikuti keadaan dan kenyataan. Misalnya pengalihan
dikarenakan orang yang sedang menjadi pemiliknya meninggal dunia. Pengalihan
hak milik yang demikian namanya pengalihan hak ijbariyah yang tidak memerlukan
adanya kerelaan pihak yang menerima sekalipun. Menurut Fiqh Islam para ahli
waris dalam menerima pengalihan hak atas harta waris tidak diperlukan kerelaan[9].
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Manusia adalah
makhluk sosial dan setiap manusia mempunyai suatu kebutuhan sehingga sering
terjadi pertentangan kehendak. Oleh karena itu, untuk menjaga keperluan
masing-masing, perlu ada aturan-aturan yang mengatur kebutuhan manusia agar
manusia itu tidak melanggar hak-hak orang lain. Maka timbullah hak dan
kewajiban diantara sesama manusia.
Pengertian hak milik adalah kekuasaan seseorang terhadap sesuatu atau terhadap suatu barang dan mempunyai kebebasan bertindak secara bebas terhadap barang tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik dia sendiri maupun dengan perantara orang lain.
Secara umum, hak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Hak mal (berhubungan dengan harta), dan
2. Hak ghairu mal (berhubungan dengan selain harta).
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan harta dapat dimiliki, yaitu:
1. Ikraj al Mubahat
2. Khalafiyah
3. Tawallud min Mamluk
4. Penguasaan terhadap milik negara atas pribadi yang sudah lebih dari tiga tahun
Pengertian hak milik adalah kekuasaan seseorang terhadap sesuatu atau terhadap suatu barang dan mempunyai kebebasan bertindak secara bebas terhadap barang tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik dia sendiri maupun dengan perantara orang lain.
Secara umum, hak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Hak mal (berhubungan dengan harta), dan
2. Hak ghairu mal (berhubungan dengan selain harta).
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan harta dapat dimiliki, yaitu:
1. Ikraj al Mubahat
2. Khalafiyah
3. Tawallud min Mamluk
4. Penguasaan terhadap milik negara atas pribadi yang sudah lebih dari tiga tahun
DAFTAR
PUSTAKA
Al
Qur’an dan Al Hadits
Suhendi,
Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo
Amar,
Imron Abu. 1982. Terjemahan Fat-hul Qarib. Kudus: Menara Kudus.
Dzajuli,
A. 2003. Fiqh Siyasah. Jakarta: Fajar Interpratama Offset.
Daradjat,
Zakiah. 1995. Ilmu Fiqh Jilid 3. Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf
Kuzari, Achmad. 1996. Sistem Asabah Dasar
Pemindahan Hak Milik atas Harga Tinggalan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
[2] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta, PT Raja Grafindo, 2002,
hlm. 31
[8] Hendi Suhendi, Op. Cit, hlm. 38
[9] Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, PT Dana Bhakti Wakaf,
Jakarta, 1995, Jilid 3, hlm 32